Sepanjang malam Jalan Kaliurang dan Gejayan menjadi rute hariannya. Keluar jam enam petang dan pulang di saat pagi menjelang. Lagu yang dibawakannya selalu sama. Lagu-lagu lawas dari musisi idola perlawanan, Iwan Fals. Jaket kulitnya dengan bangga menunjukkan identitasnya. Dua huruf “OI”, orang Indonesia. Sepanjang malam juga, para penggemar akan menanti dengan sabar. Akan ada orang-orang berbeda di tempat yang sama. Masing-masing dengan lagu favoritnya.
Di sudut Gejayan misalnya, para pecinta buku yang selesai berbelanja pada hari sabtu akan meminta lagu oemar bakri. Halaman parkir toko buku murah di sana mendadak menjadi panggung terbuka. Di hadapan para pengajar, lengkap dengan sepatu pantovel dan juga safari penuh saku di kanan kiri, selesai bernyanyi ia akan menunjukkan anak jalanan mana yang seharian belum makan. Tak ingin malu, setelah ber jam-jam para guru ini memilih buku, selembar dua lembar sepuluh ribuan mereka tumpahkan ke dalam topi koboi yang diputar. Seolah mereka tahu jika pengamen bersepatu kets ini akan membagikan uangnya pada anak jalanan yang belum makan tadi.
Lain halnya jika ia berhenti sejenak di pinggiran Jalan Kaliurang sembari menatap nanar pada anak muda yang erat menggenggam botol berisi alkohol 5 % seolah sibuk berlari ke dunia mimpi, padahal mabuk pun tak pasti. “Sarjana muda” atau “Ibu” akan terdengar menyiksa di sana. Recehan berhamburan tak sopan di depan kaki juga cacian seolah menjadi menu makan malam setiap hari. Ia tak akan pernah berhenti bernyanyi sampai selesai meski gerakan tangan pemuda di sana sudah memintanya pergi selama tiga ratus detik.
Masih banyak sebenarnya tempat lain yang menjadi genjrengan satu lagunya. Pecel lele pinggir Jalan Kaliurang, swalayan samping selokan mataram, juga tempat para tambal ban mangkal di pojokan pertigaan menuju sebuah percetakan. Masing-masing tempat ini akan menjadi panggung satu lagu dari musisi idolanya, Bang Iwan. Hanya saja, tak banyak yang mengingatnya. Orang datang dan pergi, begitu juga dengannya. Sebuah tusukan pisau berkarat dari anak jalanan yang benar-benar kelapar di depan halaman toko buku murah terkenal membuatnya mati menggelepar.
—
Satu hari, sebuah surat kabar memuat surat pembaca dari seorang tukang parkir. Ia kangen dengan sang pemeluk gitar, begitu ia memanggil pengamen dengan jaket kulit “OI” itu tadi. Lama sudah ia tak mendengar pengamen yang bangga menyanyikan lagu perlawanan dari Bang Iwan.
” Saya yakin, banyak orang disana mengerti sejarah OI, Orang Indonesia. Orang Iwan awalnya, dan OI sebagai panggilan akrab dari sesama penggemar Bang Iwan.” Begitu ia membuka surat pembacanya. Sederhana.
“Tapi saudara-saudara tak mengenal pemeluk gitar juga seperti saudara tak mengenal saya. Maklum saya hanya tukang parkir. Tepat sewindu ia tewas ditikam, oleh seorang anak jalanan yang salah paham hari ini .Dan hari ini, saya kembali teringat padanya ketika di televisi melihat bagaimana anak SMA menikam sesamanya. Bedanya, kematian Pemeluk Gitar seolah tak ada kabar.
Saya membayangkan sosok Bang Iwan muncul di Pemeluk gitar. Sedikit berlebihan mungkin. Tapi ia memang hampir seperti Bang Iwan. Bedanya, Bang Iwan hidupnya sekarang sudah mapan, sementara ia tertidur tenang di makam. Dan semakin banyak anak jalanan yang kelaparan, terlebih ketika tak ada yang menyanyikan lagu Bang Iwan dengan seragam di sepanjang Jalan Kaliurang dan Gejayan.
Saya hanya ingin menyampaikan sebuah kerinduan. Sebuah keinginan melihat bagaimana mimpi dari lagu-lagu Bang Iwan kemudian terwujudkan. Begitu juga dengannya. Sang Pengamen yang tewas sembari memeluk gitar. Itulah mengapa saya memanggilnya pemeluk gitar.
Maaf jika kemudian surat sederhana ini saya kirimkan. Berjajar bersama orang-orang pintar dan juga cerdas sampai-sampai otak lelah terkuras. Terima kasih banyak kiranya pada pengurus surat kabar jika surat dari tukang parkir semacam saya akhirnya membuat banyak orang hebat merasa terbakar. Tak banyak permintaan saya, hanya sebuah doa pada teman yang bangga menyanyikan lagu Bang Iwan. Salam”
Selama berbulan-bulan, surat pembaca dari tukang parkir yang rindu dengan lagu gratisan pinggir jalan milik Bang Iwan ini menimbulkan kehebohan. Kepolisian daerah mendapat sorotan dari penegak HAM dan juga aliansi anak jalanan ibukota. Para anak jalanan sepanjang Jalan Kaliurang dan Gejayan berulang kali masuk televise. Beberapa menjadi bintang dadakan.
Banyak juga tukang parkir yang mengaku bahwa mereka teman terdekat sang pemeluk gitar dan mengirim pesan ke surat kabar. Akademisi dan seniman terkenal, berulangkali membuat seminar mengenai lagu Bang Iwan dan juga anak Jalanan. Bang Iwan sendiri sepertinya tak tahu apa yang terjadi. Yang jelas, sempat sekali beliau menyampaikan rasa simpati.
Sementara itu, jauh di pinggir kota, di antara Kalasan dan Prambanan, seorang anak muda membawa sebuah gitar dengan sedikit noda merah kehitaman. Mengenakan sepatu, dan jaket kulit kebesaran berhiaskan tulisan “OI” di punggung. Ada jahitan tak rapi di samping saku depan. Dengan serak karena menahan tangis ia bernyanyi,
“Luka lama kambuh kembali…”